Don’t ask how many fruits you can pick, but ask how many seed you can spread
(Jangan tanyakan berapa banyak buah yang dapat kamu petik, tapi tanyakanlah berapa biji yang dapat kamu tanam.)
‘Sebaik baik kamu adalah yang lebih banyak memberikan manfaat kepada sesama manusia.’ (Al-Hadist)
(Jangan tanyakan berapa banyak buah yang dapat kamu petik, tapi tanyakanlah berapa biji yang dapat kamu tanam.)
‘Sebaik baik kamu adalah yang lebih banyak memberikan manfaat kepada sesama manusia.’ (Al-Hadist)
Di dunia ini dipenuhi dengan ketergantungan, sebab kuasa Allah pada semesta. Ada yang lemah ada yang kuat, ada yang kecil ada yang besar. Yang lemah bergantung pada yang kuat, tapi yang kuat pun bergantung pada yang lemah. Sama halnya dengan hal yang besar, yang besar bergantung pada yang kecil dan sebaliknya. Banyak sekali contohnya, seperti tidak akan ada murid kalau tidak ada guru, dan sebaliknya, tidak akan ada guru kalau tidak ada murid.
Semua makhluk di dunia ini diberikan peran oleh Allah sesuai dengan kedudukannya. Semua bisa memberikan manfaat pada yang lain, yang dalam ilmu biologi disebut simbiosis mutualisma. Tanpa memandang derajat, semua bisa berbuat kebaikan untuk yang lain. Demikian juga dalam kehidupan kita manusia. Sebagai manusia, dulu kita berawal dari tidak ada, lalu lahir sebagai bayi, kemudian menjadi anak anak, meningkat lagi menjadi remaja, dewasa dan menjadi tua kemudian tiada. Sebagai bayi kita bergantung pada bapak dan ibu kita, tetapi setelah baligh ketergantungan itu harus segera kita akhiri. Jangan berharap terus kita akan mendapat kebaikan kebaikan dari orang lain sebagaimana kita bayi dulu, tapi berpikirlah untuk menanyakan berapa banyak kebaikan kita yang akan dan telah kita tanam, kita berikan kepada orang lain.
Secara logika masih sangat wajar, jika yang lemah bergantung terus pada yang kuat. Demikian juga kita, karena masih merasa muda punya prinsip tergantung terus pada kedua orang tua. Belum berpikir untuk berbuat yang baik. Itu wajar, tapi kapankah kita mulai menanam kebaikan pada yang lain. Sebagai anak bisa kita mulai dengan toat kepada orang tua. Nurut dan menyadari akan kemampuan kedua orang tuanya. Belajar yang tertib, ngaji yang rajin dan membantu sebisa mungkin tugas orang tua. Sekolah yang rajin, tugas tugas dikerjakan dan bergaul dengan teman teman yang baik . Karena kita belum bisa, maka kita tidak malu untuk belajar, menjadi murid. Tidak malu bertanya karena saatnya nanti kita akan mengajar, menjadi guru. Karena kita masih muda, kita menghormat pada yang tua. Dan masih banyak lagi yang bisa kita perbuat sebagai amal kebaikan kita pada yang lain. Caranya dengan mengetahui dan mempelajari akan hak hak dan kewajiban kita. Tanamkanlah kebaikan sebanyak banyaknya, sekecil apapun amal kebaikan itu, seperti membuang duri di jalan, menyingkirkan kotoran dll. Ingatlah cerita tukanq sapu masjidnya Rosul. Dibandingkan dengan sahabat sahabat yang lain, yang ahli perang, ahli ilmu, sepertinya tukang sapu itu tak berharga. Sampai sampai ketika matipun Rasul tidak diberitahunya. Tetapi apa kemudian, begitu Rasulullah tidak menjumpainya, Rasul menanyakannya, dan setelah diberi tahu tentang kematiannya, Rasulpun menanyakan kuburannya dan sholat di sampingnya. Begitu berharganya sebuah kebaikan yang dikerjakan sesuai dengan kemampuannya.
‘Allah tidak memaksa kepada diri seseorang kecuali apa apa yang kuat baginya.’ (Q.S. Al Baqoroh: 282 )
Semua makhluk di dunia ini diberikan peran oleh Allah sesuai dengan kedudukannya. Semua bisa memberikan manfaat pada yang lain, yang dalam ilmu biologi disebut simbiosis mutualisma. Tanpa memandang derajat, semua bisa berbuat kebaikan untuk yang lain. Demikian juga dalam kehidupan kita manusia. Sebagai manusia, dulu kita berawal dari tidak ada, lalu lahir sebagai bayi, kemudian menjadi anak anak, meningkat lagi menjadi remaja, dewasa dan menjadi tua kemudian tiada. Sebagai bayi kita bergantung pada bapak dan ibu kita, tetapi setelah baligh ketergantungan itu harus segera kita akhiri. Jangan berharap terus kita akan mendapat kebaikan kebaikan dari orang lain sebagaimana kita bayi dulu, tapi berpikirlah untuk menanyakan berapa banyak kebaikan kita yang akan dan telah kita tanam, kita berikan kepada orang lain.
Secara logika masih sangat wajar, jika yang lemah bergantung terus pada yang kuat. Demikian juga kita, karena masih merasa muda punya prinsip tergantung terus pada kedua orang tua. Belum berpikir untuk berbuat yang baik. Itu wajar, tapi kapankah kita mulai menanam kebaikan pada yang lain. Sebagai anak bisa kita mulai dengan toat kepada orang tua. Nurut dan menyadari akan kemampuan kedua orang tuanya. Belajar yang tertib, ngaji yang rajin dan membantu sebisa mungkin tugas orang tua. Sekolah yang rajin, tugas tugas dikerjakan dan bergaul dengan teman teman yang baik . Karena kita belum bisa, maka kita tidak malu untuk belajar, menjadi murid. Tidak malu bertanya karena saatnya nanti kita akan mengajar, menjadi guru. Karena kita masih muda, kita menghormat pada yang tua. Dan masih banyak lagi yang bisa kita perbuat sebagai amal kebaikan kita pada yang lain. Caranya dengan mengetahui dan mempelajari akan hak hak dan kewajiban kita. Tanamkanlah kebaikan sebanyak banyaknya, sekecil apapun amal kebaikan itu, seperti membuang duri di jalan, menyingkirkan kotoran dll. Ingatlah cerita tukanq sapu masjidnya Rosul. Dibandingkan dengan sahabat sahabat yang lain, yang ahli perang, ahli ilmu, sepertinya tukang sapu itu tak berharga. Sampai sampai ketika matipun Rasul tidak diberitahunya. Tetapi apa kemudian, begitu Rasulullah tidak menjumpainya, Rasul menanyakannya, dan setelah diberi tahu tentang kematiannya, Rasulpun menanyakan kuburannya dan sholat di sampingnya. Begitu berharganya sebuah kebaikan yang dikerjakan sesuai dengan kemampuannya.
‘Allah tidak memaksa kepada diri seseorang kecuali apa apa yang kuat baginya.’ (Q.S. Al Baqoroh: 282 )
Sumber :Ustadz.Faizunal Abdillah (Dari catatan CAI 90-an).